1.
Pengendalian
Diri
Pada dasar dasarnya setiap manusia pasti selalu
mempunyai keinginan untuk dapat memiliki perilaku yang baik, tetapi dalam
kenyataannya untuk mencapai tujuan mulia itu tidaklah mudah. Untuk mencapai
tujuan yang dinginkan tersebut, diperlukan niat, usaha, pemahaman dan kemampuan
untuk dapat berlatih menjaga tingkah laku dengan baik. Seseorang yang dapat
menjaga dan mengawasi tingkah lakunya
dengan baik akan selalu dihormati dan disegani oleh semua orang, karena
mempunyai perilaku yang baik akan membawa berkah untuk dirinya sendiri.
Dalam Maha Maṅgala
Sutta, bagian dari Digha Nikaya,
Sang Buddha bersabda: “Perpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik
dalam tata susila dan bertutur kata dengan baik, itulah berkah utama (Tim
Penterjemah, 1997: 18-25).
Menurut Sapardi, menjelaskan bahwa: pengendalian
diri dengan melaksanakan moral (sila) dan melaksanakan kebajikan-kebajikan
sebagai
dasar
untuk dapat terlahir kembali di alam yang membahagiakan, termasuk di alam
manusia. Terlahir sebagai manusia merupakan hasil dari perbuatan baik dari
perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan pada masa kehidupan sebelumnya
(Sapardi, 2006: 78).
Berkenaan dengan perbuatan dan kehidupan manusia, Sang Buddha
bersabda dalam Dhammapada XII: 165 yang bunyinya sebagai berikut:
Oleh diri
sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh
diri sendiri kejahatan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi
suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun yang
dapat mensucikan orang lain (Attanā va kataṁ pāpaṁ attanā saṁkilissati,attanā
akataṁ pāpaṁ attanāva visujjhati suddhi
asuddhi paccattaṁ, nāñño aññaṁ vidodhaye) (Tim
Penterjemah, 2005: 70).
Dari kutipan di atas, dapat
disimpulkan bahwa mereka yang bertingkah laku dengan baik, selalu sopan dalam
berkata-kata, pintar dan memiliki keterampilan yang tinggi maka dalam hidupnya
akan selalu berhasil karena segala tingkah lakunya terkendali. Untuk dapat
menjaga semua tingkah laku dengan baik maka diperlukan suatu usaha yang keras
untuk dapat berlatih dengan baik dalam tata susila. Dalam hal inilah sangat
diperlukan pengendalian diri untuk dapat mewujudkan perilaku yang baik dan
benar.
a.
Pengertian
Pengendalian Diri
Pengendalian
diri merupakan gabungan dari kata pengendalian dan diri. Ditinjau dari kata
dasarnya, pengendalian berasal dari kata dasar kendali, yang mendapat konfiks
pe-an. Menurut Poewardaminta menyebutkan bahwa: kendali berarti, “tali kekang”
(Poewardaminta, 2007: 543). Kata Kendali juga dapat diartikan sebagai berikut:
Mengendalikan
yang artinya memegang kendali, menguasai kendali, memegang pimpinan, mengelola,
memerintah, mengekang dan menahan. Sedangkan kata pengendalian dapat diartikan
sebagai “Proses, cara, perbuatan pengendalian, pengekangan, pengawasan atas
kemajuan dengan membandingkan hasil dan sasaran secara teratur yang
menyesuaikan usaha (kegiatan) dengan hasil pengawasan” (Poewardaminta, 2005:
450).
Kata
pengendalian identik dengan kesadaran. Menurut pendapat Poewardaminta,
kesadaran berarti keadaan yang mengetahui, mengerti dan keinsafan akan diri
sendiri” (Poewardaminta, 2007: 976). Dalam Ilmu Psikologi, kesadaran seseorang
dikatakan sebagai sesuatu yang selalu berubah-ubah sepanjang waktu dan dapat
mempunyai bentuk yang bermacam-macam (Rita L. Atkinsan, 1996: 250). Menurut
Poewardaminta, diri berarti “badan, orang seorang secara pribadi, tidak dengan
yang lain” (Poewardaminta, 2007: 268).
Berdasarkan
arti dari masing-masing kata penyusunnya, bila dipadukan akan didapatkan
pengertian pengendalian diri yaitu suatu proses atau cara pengendalian
perbuatan badan yang dilakukan oleh diri sendiri melaui pikiran ucapan dan
perbuatan.
Dalam
Bahasa Inggris pengendalian diri disebut dengan self control. Dalam kamus Oxford dituliskan, “control of ones own feelings, behaviour” (Tim Penyusun, 2006: 373).
Yang dapat diterjemahkan sebagai pengendalian diri dari masing-masing prilaku.
Maksudnya adalah bahwa untuk mengendalikan diri sendiri tidak dapat dilakukan
oleh orang lain, tetapi hanya diri sendirilah yang dapat mengatasi tindakan
yang sedang dilakukan.
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, menurut pendapat S. Momink yang menyebutkan
bahwa:
Orang bijak yang mampu mengendalikan
perbuatan, mengendalikan ucapan, orang bijak yang mampu mengendalikan pikiran
telah mengendalikan diri sendiri dengan sempurna (The wise who control their body who control their tongue the wise who
control their mind are truly well controlled) (S. Momink, 2007: 50-51).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
Sang Buddha juga pernah bersabda dalam Dhammapada
XVII: 17: 14 yang dikutip oleh Surya Widya sebagai berikut:
Orang
bijaksana mengendalikan perbuatan melalui badan jasmani, mereka juga
mengendalikan perbuatan melalui ucapan, mereka juga mengendalikan pikiran
dengan baik, mereka yang menjaga dengan baik ketiga pintu, badan jasmani,
ucapan dan pikiran, benar-benar telah mengendalikan diri dengan sepenuhnya (Kāyena saṁvutā dhīra
atho vācāya samvutā
manasā samvutā dhīrā
te ve suparisaṁvutā (Surya Widya, 2001: 95).
Dari kutipan di atas,
dapat dikatakan bahwa pikiran adalah yang mengawali segala tindakan yang
dilakukan, jika pikiran kita baik maka perbuatan yang tercermin juga akan baik,
tetapi jika pikiran kita buruk maka perbuatan yang tercermin juga akan buruk.
Seseorang harus dapat mengendalikan pikirannya dari hal-hal yang buruk. Jika
pikiran dapat terkendali maka kita dapat mengontrol semua tindakan-tindakan
yang akan kita lakukan.
Menurut
Khotbah Dhamma Y. M. Bhante Panna Vattho Thera dijelaskan bahwa: dengan
kesabaran kita selalu berlatih memunculkan kewaspadaan, dengan kewaspadaan dan
perhatian kita akan dapat mengenali apapun yang ada di sekeliling kita, lalu
kita dapat mengenali, mengerti dan paham dengan apapun yang benar (Bhante Panna,
2003: 26).
Mengenai
hal menumbuhkan kewaspadaan dalam Dhammapada II: 21, Sang Buddha bersabda
sebagai berikut:
Kewaspadaan adalah jalan menuju
kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak
akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati (Appamādo amatapadaṁ pamādo maccuno padaṁ appamattā na mīyanti
ye pamattā yathā matā) (Tim Penterjemah, 2005:
11).
Dari
kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki kewaspadaan yang
baik akan dapat melindungi dirinya sendiri dari bahaya sehingga dapat menuju ke
keadaan yang abadi yang tidak akan dilahirkan lagi. Kewaspadaan sangat penting
dimiliki oleh setiap orang agar dalam melakukan segala aktivitas dapat
dikerjakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Dalam
agama Buddha pengendalian diri sering disebut dengan Samvara dapat diartikan sebagai mawas diri, mengetahui diri kita,
mengarahkan dan mengendalikan diri kita untuk menuju kebahagiaan atau
kedamaian.
Menurut
pendapat Dody Herwidanto, dijelaskan bahwa: “Secara harfiah, istilah samvara berarti menutup atau menyumbat
sesuatu aliran. Arti yang dibawakan di sini adalah menutup atau menyumbat
aliran pikiran-pikiran tidak baik atau jahat dengan cara lima macam praktek
yaitu moral (sila), perhatian (sati), pengetahuan (nana), kesabaran (khanti)
dan semangat (viriya) samvara (Dody
Herwidanto, 1988: 130).
Menurut
pendapat penulis, pengendalian diri dalam agama Buddha dapat diartikan sebagai
cara seseorang untuk menumbuhkan kesabaran dan kewaspadaan dengan mengikis
pikiran-pikiran yang tidak baik. Dengan kesabaran, seseorang dapat meraih
kebahagiaan, kesuksesan dalam meraih cita-cita sehingga dapat menjalani
kehidupan yang sejahtera. Sedangkan memiliki kewaspadaan akan menjadikan
seseorang lebih teliti dan berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan yang
berkenaan dengan dirinya sehingga dapat mengontrol diri sendiri dan terhindar
dari masalah. Pengendalian diri adalah suatu proses atau cara seseorang untuk
dapat menahan dan mengendalikan segala tindakan yang dilakukan baik melalui
pikiran, ucapan dan perbuatan dengan
penuh kesadaran.
b.
Cara
menumbuhkan Pengendalian Diri dalam Agama Buddha
Dalam Dhamma Vibhaga dijelaskan bahwa dengan
mempunyai pengendalian diri maka kita akan mendapatkan kebahagiaan, kedamaian,
kesejahteraan, kemakmuran dan keharmonisan. Sang Buddha menjelaskan dalam Maha Maṅgāla Sutta
bahwa: “terlatih baik dalam tata susila, itulah berkah utama (vinayo ca susikkhito, etaṁmaṅgalamuttamaṁ)” (Tim Penterjemah, 2005:
31).
Mengarah pada usaha mengendalikan diri dari perilaku
yang tidak pantas atau sesuai dengan norma agama dan hukum yang berlaku di
masyarakat maupun Negara sehingga dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan,
baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Dhamma Vibhaga dijelaskan bahwa
ada lima latihan pengendalian diri (samvara),
yaitu:
1)
Pengendalian
Diri melalui Perilaku (Sīla Saṁvara)
Menurut Tejanando menyebutkan bahwa: Sila saṁvara adalah pengendalian diri terhadap tingkah laku dan
ucapan sesuai dengan moral dan etika yang berlaku dalam norma agama di mana pun
kita berada (Tejanando, 2006: 26).
Berkenaan dengan pengendalian diri melalui ucapan
dan tingkah laku, Tejanando berpendapat sebagai berikut:
Perbuatan
yang tidak melanggar sila pertama, kedua, ketiga dan keempat yaitu: tidak
membunuh atau menyakiti makhluk hidup, tidak mencuri, merampok, tidak berzinah,
selingkuh, memperkosa dan tidak memakan atau minum yang menyebabkan ketagihan.
Sedangkan yang berhubungan dengan ucapan adalah berbohong, berbicara kasar,
memfitnah, omong kosong dan membual. Sehingga dengan berusaha bertingkah laku
melalui ucapan dan perbuatan dengan benar maka seseorang akan hidup bahagia dan
sejahtera (Tejanando, 2006: 26).
Sila merupakan kebajikan moral dan dapat dianggap
sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan.
Dalam Theragatha 612 Sang Buddha bersabda: “Kebajikan moral adalah dasar,
sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu,
hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral (sila)” (Tim Penyusun, 2003:
91).
2)
Pengendalian
Diri melalui Perhatian (Sati Saṁvara)
Menurut pendapat Tejanando, sati samvara adalah pengendalian diri yang dilakukan dengan selalu
sadar dan waspada terhadap indria pada saat kontak dengan objek (Tejanando,
2006: 26).
Berhubungan dengan kesadaran dan pikiran yang
dimiliki oleh seseorang, dalam Digha Nikaya III, 273 yang dikutip oleh
Krishnanda Wijaya Mukti, disebutkan “pikiran (mana, citta) seringkali disamakan dengan kesadaran. Kesadaran
terkait dengan perhatian atau ingatan (sati)
dan menyadari (sampajanna), dua hal
yang sangat membantu seseorang merealisasi kebenaran (Krishnanda W. Mukti,
2003: 189).
Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa
kesadaran adalah hal yang sangat penting untuk dikembangkan. Dengan mengembangkan
kesadaran, seseorang dapat mengenal dan mengetahui segala sesuatu yang berada
di sekelilingnya sehingga akan selalu waspada. Seseorang akan waspada pada saat
berkata, berbuat dan berpikir. Dengan waspada seseorang tidak akan melakukan
kesalahan dan selau bertindak dengan benar.
Dalam Kitab Suci Dhammapada bab IX ayat 124 yang
dikutip oleh Surya Widya, Sang Buddha bersabda:
Apabila
seseorang tidak mempunyai luka di telapak tangannya, ia dapat memegang mangkok
yang berisi racun, oleh karena racun tidak akan masuk ke dalam tubuhnya.
Seseorang yang tidak melakukan perbuatan jahat tidak khawatir akan akibat dari
perbuatan jahat (pānamhi ce vano
nāssa hareyya pāninā visaṁ, nābbanaṁ
visamanveti, natthi pāpaṁ
akubbato) (Surya Widya, 2001: 49).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa jika
seseorang tidak melakukan kejahatan, maka ia tidak akan merasa resah dengan
kehidupannya karena dengan selalu bertindak baik dan benar maka kedamaian akan
selalu menyertainya. Dengan tidak melakukan kejahatan maka tidak akan ada
akibat buruk yang ditimbulkan sehingga hidup akan lebih berbahagia. Dan dengan
selalu waspada pada kejahatan maka seseorang tidak akan ikut terjerumus dalam
kejahatan.
3)
Pengendalian
Diri melalui Kesabaran (Khanti Saṁvara)
Menurut pendapat Tejanando, disebutkan: ”khanti samvara adalah sikap
mengendalikan diri yang menumbuhkan kesabaran ketika menghadapi fenomena
kehidupan ini” (Tejanando, 2006: 27).
Dengan
memiliki kesabaran baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin kita,
semua akan tahan terhadap masalah-masalah yang timbul dari luar maupun yang
timbul dari dalam diri kita sendiri. Melatih kesabaran dapat kita lakukan
dengan melaksanakan meditasi.
Dalam hal lain, dijelaskan oleh Wandy John M.W, bahwa
manfaat melatih kesabaran adalah sebagai berikut:
Dengan
melatih kesabaran, akan membuat seseorang menjadi mudah dalam pekerjaannya,
dipercaya banyak orang, memiliki pengendaian diri yang baik dan dapat menahan
emosi, disegani banyak orang, memiliki keindahan batin dan dapat membebaskan
diri dari kemelekatan terhadap harta dan anggota tubuhnya sendiri (Wandy John
M.W(ed.), 2007: 31)
Pada bagian lain yang berhubungan dengan manfaat
memiliki kesabaran yang dimiliki seorang Bhikkhu dapat
menimbulkan rasa hormat dari orang lain, Sang
Buddha bersabda dalam Dhammapada XVII: 225, dikutip oleh Surya Widya yang
bunyinya adalah sebagai berikut:
Para pertapa yan
penuh kesabaran, selalu mengendalikan segala tingkah lakunya; akan mencapai
keadaan yang terbebas dari kematian (Nibbana), di mana tidak ada kesedihan lagi
(ahiṁsakā ye munayo niccaṁ kāyena
saṁvutā te yanti accutaṁ thānaṁ
yattha gantvā na socare (Surya
Widya, 2001: 91).
Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa
seseorang yang telah memiliki kesabaran dalam dirinya akan menjadikan pelindung
bagi dirinya sendiri, karena dengan melatih kesabaran segala hal-hal yang buruk
dapat dihindari dan selalu membawa kedamaian bagi dirinya sendiri, orang lain
dan Negara.
4)
Pengendalian
Diri melalui Usaha Benar (Viriya Saṁvara)
Menurut Dody Herwidanto, virya samvara yaitu pengendalian diri melalui usaha yang benar
berarti menghilangkan pikiran-pikiran jahat dengan usaha yang baik. Usaha yang
dilakukan dapat melalui empat cara yaitu: “Menahan pikiran buruk yang belum
muncul; mengikis pikiran buruk yang telah muncul; menumbuhkan pikiran baik yang
telah muncul dan mengembangkan pikiran baik yang telah muncul (Tim Penyusun,
1992: 131).
Dalam hal meningkatkan semangat untuk menjalani
segala perbuatan, dalam Dhammapada
II: 24, Sang Buddha bersabda sebagai berikut:
Orang
yang penuh semangat, selalu sadar, murni dalam perbuatan, memiliki pengendalian
diri, hidup sesuai dengan dhamma dan selalu waspada, maka kebahagiaannya akan
bertambah (uṭṭhānavato
satimato sucikammassa nisammakārino
saññatassa ca dhammajīvino appamattassa yaso bhivaddhati (Tim
Penterjemah, 2005: 11).
Pada
bagian lain mengenai usaha untuk menumbuhkan hal-hal yang baik, dalam Itivuttaka
bagian kelompok satu Sang Buddha bersabda kepada Para Bhikkhu sebagai berikut:
Orang yang tidak tekun, sembrono, malas
dan tidak bersemangat, dipenuhi kemalasan mental dan kekakuan, tidak tahui malu
dan tanpa rasa hormat…..Bhikkhu yang seperti itu tidak akan dapat mencapai
pencerahan agung. Tetapi meditator yang penuh perhatian dan pengertian, tekun,
cermat dan rajin, setelah memutus belenggu-belenggu kelahiran dan kelapukan, di
sini dan kini, dengan sendirinya dapat mencapai pencerahan agung (Tim
Penterjemah, 2007: 29).
Dari kutipan di atas, dapat penulis katakan bahwa
dengan pengendalian diri melalui usaha
yang benar maka seseorang dapat
mengarahkan
pikiran menuju tujuan yang hendak dicapai. Umat Buddha harus memiliki semangat atau usaha untuk
selalu dapat menjalankan perbuatan-perbuatan baik yang akan mendatangkan
kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Menurut pendapat Tejanando, semangat adalah salah
satu sikap mental yang harus dibangkitkan dan dikembangkan (Tejanando, 2006:
27). Untuk mancapai hal itu, setiap orang seharusnya suka bergaul dengan dengan
orang-orang yang rajin dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh. Setiap orang
seharusnya tidak bergaul dengan orang-orang yang malas, karena orang yang malas
akan mempunyai kebiasaan malas merawat dirinya, sehingga ia tidak akan
memperoleh kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan seseorang harus
menghilangkan kemalasan yang ada dalam dirinya. Seseorang yang dapat bergaul
dengan orang-orang yang baik dan mengikuti segala prilakunya maka ia akan
dihormati oleh banyak orang. Tetapi bila seseorang bergaul dengan mereka yang
kurang memiliki pengetahuan maka ia tidak akan memiliki kehormatan pada
dirinya. Dengan bergaul kepada mereka yang memiliki pengetahuan dalam Dhamma
maka seseorang akan dapat mengikuti usaha baik yang dilakukannya untuk dapat
menghindari pikiran-pikiran buruk yang membelenggu diri seseorang.
5)
Pengendalian
Diri melalui Pengetahuan Dhamma (Ñāna
Saṁvara)
Menurut Tejanando disebutkan bahwa, ñāna saṁvara adalah pengendalian diri dengan mengunakan
pengetahuan Dhamma yang telah dimiliki untuk menghadapi problem atau
masalah-masalah yang dihadapi yang muncul dalam kehidupan ini. Pada dasarnya
bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal dan karena tidak kekal maka
menimbulkan penderitaan itulah hal yang harus dipahami oleh kita semua
(Tejanando, 2006: 27).
Menurut pendapat Dody Herwidanto, dijelaskan bahwa:
“merenungkan hakikat dari empat kebutuhan-kebutuhan hidup yaitu pakaian,
makanan, tempat tinggal dan obat-obatan, serta tidak terseret oleh keinginan
yang serakah. Menggunakan pandangan terang yang telah dicapai sewaktu
berhubungan dengan orang-orang atau sewaktu menghadapi persoalan adalah makna
dari bentuk pengendalian diri (Dody Herwidanto, 1992: 131).
Dalam Kitab Suci Itivuttaka bagian kelompok dua,
Sang Buddha menjelaskan kepada para Bhikkhu sebagai berikut:
Alam kehidupan
apapun yang tidak menyenangkan di dunia ini dan dunia sana, semuanya berakar
pada ketidaktahuan, yang dibangun oleh nafsu keinginan dan keserakahan. Karena
orang yang memiliki nafsu keinginan jahat tidak punya malu dan tidak punya rasa
hormat, dari situlah kejahatan mengalir keluar dan dia pergi menuju keadaan
sengsara. Maka dengan membuang nafsu keinginan dan keserakahan, beserta
ketidaktahuan juga, seorang Bhikkhu mengembangkan pengetahuan dan meninggalkan
semua alam penderitaan (Tim Penterjemah, 2007: 36).
Dari kutipan di atas, maka penulis dapat simpulkan
bahwa seseorang yang tidak memiliki pengetahuan akan Dhamma hidupnya akan
selalu dibarengi dengan pikiran buruk dan nafsu-nafsu keinginan yang rendah.
Orang yang seperti ini tidak mengetahui cara apa yang harus dilakukan untuk
dapat membebaskan diri dari belenggu ke keserakahan. Mereka selalu bertindak
dengan pikiran yang dipenuhi ketidaktahuan dan tidak pernah berpikir untuk
dapat melepaskan diri dari kesengsaraan. Namun, bila seseorang memiliki
pengetahuan Dhamma yang tinggi maka ia dapat melepaskan diri menuju
kebahagiaan.
c.
Cara
melatih Pengendalian Diri dalam agama Buddha
Menurut
Krishnanda Wijaya Mukti menyebutkan ada tiga macam latihan yang harus dilakukan
untuk dapat melatih pengendalian diri yaitu: kita perlu mendisiplinkan diri
dalam ucapan, pikiran dan tindakan sebelum melakukan tugas yang sulit yaitu
melatih diri kita dengan cara bermeditasi (Krishnanda Wijaya Mukti, 2003: 209).
Dari kutipan di
atas dapat dikatakan tujuan dari moralitas dalam agama Buddha adalah pengendalian
ucapan dan perbuatan fisik, dengan kata lain kesucian ucapan dan tindakan. Ini
disebut latihan moral kebajikan. Dalam melakukan meditasi orang-orang yang menjalankannya
diharapkan bisa menahan diri dari segala hal yang berhubungan dengan kegiatan
seksual dan dapat menahan nafsu-nafsu keinginan indrawi.
Selain hal
tersebut di atas, Krishnanda Wijaya Mukti juga menjelaskan cara khusus yang
berkaitan dengan meditasi untuk melatih diri yaitu:
Salah satu aspek
terpenting dari meditasi Buddhis adalah Satipattana
yaitu “membangun, melatih kesadaran”. Kata “patthana” bentuk singkat dari “upatthana”,
secara harfiah berarti “menempatkan dengan dekat (pikiran seseorang)”, yaitu
tetap sadar, bangun, menegakkan, memakai dan membangkitkan. Untuk
membangkitakan seseorang terhadap pengertian kesadaran yang tajam pada satu
objek, dan menghidupkan, membangunkan dan menimbulkan pengendalian indera,
semua ini adalah membangun kesadaran yang terdiri dari empat tipe yaitu:
melatih kesadaran jasmani (Kayanupassana),
perasaan (vedananupassana), pikiran (cittanupassana) dan fenomena pikiran (dhammanupassana) (Krishnanda Wijaya
Mukti, 2003: 212).
Seperti yang
disebutkan dalam Itivuttaka bagian dari Khuddaka Nikaya, Sang Buddha bersabda sebagai berikut:
Mereka yang
memiliki pikiran yang damai, yang mengerti, penuh perhatian dan tekun dalam
meditasi, dengan jelas akan melihat segalanya dengan benar dan tidak merindukan
kesenangan-kesenangan indria. Mereka yang damai, yang bergembira dalam
ketekunan, yang melihat dengan takut pada keteledoran, tidak akan dapat
terjatuh dan akan dekat dengan Nibbana (Tim Penterjemah, 2007: 42).
Pada bagian
lain, disebutkan dalam Buddhaghosa,
370 yang dikutip oleh Corneles Wowor, bagian dari kitab Visuddhi Magga, Sang Buddha bersabda sebagai berikut: “Panna bersifat menembus hakikat
kenyataan (dhamma)…dan langsung
dihasilkan dari Samadhi. Barang siapa bersamadhi, ia akan mengetahui hakikat kenyataan”
(Corneles Wowor, 2004: 4).
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, disebutkan juga dalam Dhammapada XXV: 371,
terdapat Sabda Sang Buddha yang bunyinya sebagai berikut:
Bersamadilah, bhikkhu! Jangan lengah!
Jangan biarkan pikiranmu diseret oleh kesenangan-kesenangan indera! Jangan
karena lengah engkau harus menelan bola besi yang membara! Dan jangan karena
terbakar maka engkau meratap. “Hal ini sungguh menyakitkan!” (jhāya Bhikkhu mā pamādo
mā te kāmagune ramessu cittaṁ mā
lohagulaṁ gilī
pamatto mā kandi dukkhamidanti dayhamāno) (Tim Penyusun,
2005: 163).
Dari kutipan-kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa
untuk dapat melatih diri dengan baik maka diperlukan latihan-latihan yang yang
dapat dilakukan dengan melatih diri hidup susila, melatih meditasi dan melatih
pengembangan kebijaksanaan.
Dalam Digha Nikaya 123: 94, yang dikutip oleh
Corneles Wowor, hal ini dipertegas oleh Sang Buddha ketika Beliau menyatakan:
“barang siapa terlatih dalam sila, meditasinya akan berkembang; barang siapa
terlatih dalam meditasi, kebijaksanaannya akan berkembang; barang siapa
terlatih dalam kebijakan, batinnya akan terbebas dari kekotoran….” (Corneles Wowor,
2004: 5).
Dari pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
seseorang yang dapat menerapkan moral (sila),
konsentrasi (Samadhi) dan kebijaksanaan
(panna) akan mempunyai kesabaran dan
memiliki pengendalian diri denga baik sehingga dapat mencapai kebahagian yang
paling tinggi.
d.
Manfaat
memiliki pengendalian diri
Dalam Mahaparinibbana Sutta, yang dikutip oleh
Tejanando, Sang Buddha menjelaskan bahwa banyak manfaat yang akan diperoleh
apabila kita mempunyai prilaku yang baik atau dapat mengendalikan diri dengan
baik. Seseorang yang mempunyai moral yang baik akan memperoleh lima manfaat, yaitu:
1)
Akan
memperoleh harta materi maupun Dhamma
2)
Termasyur
atau terkenal karena kebajikannya
3)
Mempunyai
percaya diri di manapun dia berada
4)
Menjelang
meninggal dunia pikirannya tenang, tidak
gelisah dan tidak cemas.
5)
Setelah
meninggal dunia terlahir di alam surga atau alam
Dewa (Tejanando, 2006: 28).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sila
dapat meningkatkan kehidupan yaitu dapat membentuk kekuatan mental,
kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab dan rasa kesetia kawanan.
Dalam Itivuttaka bagian dari Khuddaka Nikaya
dijelaskan juga manfaat-manfaat pelatihan, seperti Sabda Sang Buddha sebagai
berikut:
Orang yang telah
menyelesaikan pelatihan yang tidak lagi dapat terjatuh, dan telah mencapai
kebijaksanaan yang lebih tinggi, Dia melihat akhir dari kelahiran. Orang suci
itu menanggung tubuh terakhirnya, dan karena telah meninggalkan kesombongan,
Dia telah pergi melampaui kelapukan, demikian kukatakan. Oleh karenanya,
selalulah bergembira dalam meditasi, berkonsentrasi dan penuh semangat, dengan
melihat akhir dari kelahiran, para bhikkhu, taklukkanlah mara dan bala
tentaranya, dan pergilah melampaui semuakelahiran dan kematian (Tim
Penterjemah, 2007: 43).
Disebutkan juga oleh Sang Buddha dalam Dhammapada XIII:
168 yang bunyinya adalah sebagai berikut:
Bangun! Jangan
lengah! Tempuhlah kehidupan benar. Barangsiapa Menempuh kehidupan benar, maka
ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya (uttiṭṭhe nappamajjeyya dhammaṁ sucaritaṁ
care dhammacārī sukhaṁ seti asmiṁ loke
paramhi ca) (Tim Penysun, 2005: 73).
Dalam Anguttara Nikaya yang dikutip oleh Tejanando,
ada pernyataan Sang Buddha, yang bunyinya sebagai berikut:
Demikianlah Ananda dengan mempunyai
perilaku bermoral manfaatnya adalah tidak adanya penyesalan; tidak adanya
penyesalan memberikan kegembiraan; kegembiraan memberikan suka cita; suka cita
memberikan ketenangan; ketenangan memberikan kebahagiaan; dan kebahagiaan
memberikan konsentrasi sebagai manfaat yang akan diperolehnya” (Tejanando,
2009: 28).
Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan
bahwa harumnya nama mereka yang mempunyai sila yang baik akan menyebar ke dunia
bahkan ke alam Dewa dan dengan mengendalikan diri kita akan memperoleh manfaat
yang sangat besar bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan tercapainya
perdamaian dunia. Dengan berusaha mempunyai pengendalian diri (Samvara), maka kita dapat memberikan
kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian di dunia.
e.
Akibat
tidak memiliki Pengendalian Diri
Dalam Dhammapada
XII: 161, Sang Buddha bersabda mengenai akibat dari tidak memiliki pengendalian
diri yang bunyinya sebagai berikut:
Kejahatan yang
dilakukan oleh diri sendiri, timbul dari diri sendiri serta disebabkan oleh
diri sendiri, akan menghancurkan orang bodoh, bagaikan intan yang memecah
permata yang keras (attanā va
kataṁ pāpaṁ attajaṁ attasambhavaṁ abhimatthati dummedhaṁ vajiraṁ vamhayṁ maniṁ) (Tim Penterjemah, 2005: 69).
Pada
bagian lain yang berkenaan dengan akibat dari orang yang tidak memiliki
pengendalian diri, menurut Joko Wuryanto, menyatakan bahwa ada lima bahaya yang
akan diperoleh yaitu:
1.
Kehilangan
sebagian besar kekayaan, sifat mereka yang acuh tak acuh;
2.
Perbuatan
mereka yang tidak baik;
3.
Perbuatan
mereka yang melakukan dan menyusahkan setiap warga masyarakat, apakah mereka
sebagai bhikkhu, pandita, berkeluarga dan pertapa;
4.
Mereka
akan meninggal dunia dalam dalam kebingungan;
5.
Pada
saat kehancuran tubuh mereka setelah kematian, meeka akan terlahir kembali
dalam penderitaan, terlahir di alam bawah, alam neraka (Joko Wuryanto, 2007:
29).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa orang
yang tidak mempunyai pengendalian diri tidak akan dapat hidup dengan tenang,
selalu membuat keonaran dan menyusahkan semua orang dan kehidupannya dipenuhi
dengan penderitaan. Apapun yang dilakukan tidak akan memberi manfaat bagi
dirinya sendiri, tindakan yang dilakukan akan selalu membahayakan dirinya
sendiri dan orang lain.
Dengan demikian maka dapat penulis simpulkan bahwa
akibat dari tidak memiliki pengendalian diri adalah sangat membahayakan, karena
akan menimbulkan kejahatan yang tidak ada hentinya. Kejahatan muncul dari dalam
diri seseorang, karena pada dasarnya orang melakukan kejahatan karena pikiran
mereka diliputi oleh hal-hal yang buruk yang dibarengi dengan keserakahan,
kebencian dan kebodohan yang menimbulkan kejahatan untuk memenuhi kepuasan
nafsunya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengendalian diri yang dimiliki oleh
seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar